Udara tak sedap memadati mobil yang kami tumpangi, seperti mengikuti truk sampah tanpa bisa mendahuluinya. Padahal lokasi TPA Bantar Gebang yang kami tuju kurang lebih masih 3 km lagi. Di tambah lagi keadaan jalan rusak yang menyebabkan macet membuat suasana di mobil makin terasa jengah.Untungnya selama diperjalanan Jakarta dan sekitarnya diguyur hujan, setidaknya membuat udara di sekitar TPA Bantar Gebang sedikit bersih, walaupun tetap saja tidak membuat kami melepaskan tangan dari hidung untuk menghalau bau tak sedap dari bukit-bukit sampah di depan kami.
TPA Bantar Gebang yang luasnya 108 Ha ini terletak di kecamatan Bantar Gebang Bekasi, mencakup tiga dari delapan desa yang ada di kecamatan Bantar Gebang, yaitu desa Ciketing Udik, desa Cikiwul, dan desa Sumur Batu.
Areal ini pada awalnya merupakan bekas lahan galian tanah untuk kepentingan pembangunan beberapa perumahan di Jakarta, seperti Sunter, Podomoro, dan Kelapa Gading serta perbaikan jalan di Narogong. Dan pada tahun 1986 Pemerintah DKI Jakarta membangun TPA ini karena dinilai sangat cocok untuk dijadikan tempat pembuangan akhir karena lahannya yang cekung dan lokasi yang jauh dengan pemukiman penduduk. Di sini juga terdapat TPA milik pemerintah Kota Bekasi yang luasnya hanya sepersepuluh dari TPA Bantar Gebang, yaitu TPA Sumur Batu.
Sesampainya di sana sedikitnya kami melihat empat bukit sampah setinggi 20 meter lebih, dua diantaranya sudah tertutup rerumputan. Malah awalnya kami mengira itu memang bukit biasa, layaknya bukit-bukit di dataran tinggi. Disana kami langsung menuju rumah Bagong Suyoto dengan alamat lengkap Jl. Pangkalan II Km. IV Kelurahan Sumur Batu RT 01 / RW 03 No. 44 Kecamaatan Bantar Gebang, Bekasi.
Bogong Suyoto yang juga sering di sapa Mas Bagong ini adalah ketua Koalisi LSM Untuk Persampahan Nasional (Zero Waste Indonesia) sejak tahun 2006. juga ketua Dewan Daerah Walhi Jakarta (2006-2009). Sosok yang di lahirkan di Wonogiri pada 27 November 1965 ini juga mendirikan Koalisi Pemantau Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Indonesia pada tahun 2005. Sekarang sedang melakukan advokasi di kisaran TPA Bantar Gebang, TPA Sumur Batu, Kota Bekasi, TPA Burangkeng, Jabodetabek dan Bandung Raya.
Di rumahnya yang sederhana namun bersih dan menyatu dengan kantor tempat dia bekerja ini bau sampah tetap menyengat hidung kami, karena hanya berjarak 100 meter dari TPA. Di sana kami di sambut oleh sang istri, dia mengatakan bahwa Mas Bagong sedang berada di lokasi Komposting ‘Patriot’ milik Pemkot Bekasi yang terletak persis disamping bukit sampah.
Di perjalanan terlihat gubuk-gubuk pemulung, mereka para pemulung sedang sibuk mensortir sampah non-organik hasil pungutan mereka. Terdapat sekat-sekat dari kain di samping gubuk mereka untuk memisahkan jenis-jenis sampah yang telah di sortir, ada plastik, beling, logam, kardus, karet, dll. Yang nantinya setelah terkumpul sampai jumlah tertentu mereka karungi dan dijual pada bos/pelapak terdekat.
Sampai di lokasi Komposting ‘Patriot’, bau busuk sampah semakin terasa menusuk. Karena memang tepat berada di kaki bukit sampah. Terlihat diatas bukit alat berat jenis Becho meraung-raung menyusun bukit sampah, di sekelilingnya puluhan pemulung berebut memilah barang yang menurut mereka berharga, bahkan ada yang sampai terperosok karena salah memilih pijakan yang tepat. Seperti rombongan semut mengerubungi serangga yang mengamuk, tanpa kenal lelah dan bahaya demi kalangsungan hidup mereka.
“Baunya jangan dirasain, kalo dirasain saya juga ngga bakal kuat lama-lama disini” komentar Mas Bagong ketika kami masih meributkan masalah bau yang menyengat ini. Kami dipersilahkan masuk oleh Mas Bagong ke dalam pabrik komposting ini, sayangnya pabrik ini sedang tidak produksi karena sebagian atapnya roboh terkena hujan bercampur angin kemarin. Dia juga mengeluhkan pihak pemborong yang membangun gedung ini karena kokoh.
Mas Bagong mengatakan bahwa kita tidak menyadari bahwa pemulung adalah pahlawan, pelopor 3R (reduce, reuse, recycle) atau mengurangi, memakai kembali, mendaur ulang. Merekalah yang mengurangi volume sampah disini, memperpanjang umur TPA ini. Dalam sehari tidak kurang dari 6000 ton sampah baru dibuang ke sini, dengan rincian permukiman 3.178 ton (52,97%), perkantoran 1.641 ton (27,35%), industri 538 ton (8,97%), sekolah 319 ton (5,32%), pasar 240 ton (4%), lain-lain 84 ton (1,4%).
Lebih dari 10 juta ton sampah sudah ditimbun di areal ini, tanpa penanganan dan pengelolaan yang baik, lahan TPA Bantar Gebang ini dikhawatirkan tidak akan mampu menampung sampah lagi dari DKI Jakarta. Selain itu, risiko kebakaran dan longsor di TPA Bantar Gebang setiap waktu terus mengancam.
Seperti longsor yang terjadi pada tahun 2006 yang menyebabkan tiga pemulung tewas dan tujuh orang luka parah, bencana ini diakibatkan karena tidak diterapkannya metode sanitary lanfill. Yaitu membuang dan menumpuk sampah ke suatu lokasi yang cekung, memadatkan sampah tersebut kemudian menutupnya dengan tanah. Dan metode ini dapat menghilangkan polusi udara.
Sekarang ini TPA Bantar Gebang di kelola oleh PT. Godang Tua Jaya (GTJ), PT ini akan mengelola selama 15 tahun, yaitu hingga tahun 2023. PT GTJ dikenal sebagai produsen pupuk organik (kompos) yang berbahan baku sampah pasar dan salah satu subkontraktor di TPA Bantar Gebang ketika TPA Bantar Gebang masih dikelola PT Patriot Bekasi Bangkit (PBB). Dan akan menerapkan teknologi sanitary landfill yang benar dan penerapan proses 3R, serta pengomposan untuk sampah di TPA Bantar Gebang.
Sebagian besar masyarakat disini adalah pemulung, dengan rata-rata pendidikan hanya lulusan SD. “waktu saya baru datang kesini di tahun 2001 bersama teman-teman Walhi, masyarakat sini masih bodoh-bodoh dan tidak bersatu.” kata Mas Bagong yang selalu membawa kamera untuk kepentingan advokasinya ini. Masyarakat tidak peka terhadap apa-apa yang merugikan mereka, dari masalah kesehatan, air bersih, lalat, dan bau busuk yg kesemuanya berasal dari tumpukan sampah.
Dan dia mempunyai misi menjadikan TPA Bantar Gebang ini sebagai pusat industri daur ulang, pusat industri kompos, dan pusat sumber energi listrik. Bahkan, TPA Bantar Gebang dapat menjadi pusat pelatihan dan pusat pengembangan pertanian serta kawasan ekowisata.
Tak terasa haripun sudah semakin gelap, para pemulung sebagian besar sudah kembali ke gubuknya masing-masing dengan keranjang ataupun gerobak mereka yang telah penuh dengan hasil pulungan mereka. Kami yang asik berbicara sambil memerhatikan bukit sampah dengan segala aktifitasnya dengan tangan sibuk mengibas-ngibas lalat yg berterbangan di mana-mana mulai kembali ke rumah Mas Bagong.
Memang bukan wisata yang cukup menyenangkan tapi inilah potret kehidupan pinggiran yang sarat nilai, perjuangan mempertahankan hidup yang tanpa disadari berpengaruh besar terhadap stabilitas masyarakat umum.
(berbagai sumber)
Read More..

