Jepretan

Rabu, 10 Februari 2010

Tragis…! (Tragedi Situ Gintung)

Hanya bermodalkan pelampung saya memberanikan menyisiri puing2 hancur bekas terjangan banjir bandang Situ Gintung. Sendal jepit tak memungkinkan untuk dipakai dan hanya menjadi penghalang karena dalamnya lumpur. Beresiko memang, bukan hanya karena licinnya jalan tapi juga puing-puing bangunan, balok kayu, paku, kaca, seng, berserakan di sekeliling dan tertimbun lumpur.

Tak sempat memikirkan apa yang harus di bawa ketika pagi itu pukul 05. 30 saya mendapat telpon dari kawan tentang berita bencana banjir bandang karena jebolnya tanggul Situ Gintung, memikirkannya saja sudah cukup mengerikan ketika mendengar berita itu. Karena memang pemukiman di bawah tanggul itu cukup padat, dan sudah pasti apa yang dilalui oleh banjir bandang itu akan hancur terseret arus.

Bersama kawan2 saya mencoba untuk mencari kemungkinan adanya korban yang tertimpa puing ataupun tertimbun lumpur, dengan langkah perlahan karena tidak mau mengambil resiko kaki terluka karena tidak memakai alas. Air pun masih deras mengalir karena situ gintung belum juga terkuras walaupun sudah 6 jam lebih memuntahkan air.

Di tengah-tengah pencarian datang seorang ibu muda dengan wajah pucat panik, memakai daster yang basah dan kotor, terlihat ada banyak luka di leher dan tangannya. Tanpa peduli dengan keadaannya sendiri, mencoba mengangkat tembok bekas reruntuhan rumah. Mengangkat sia-sia dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, tak mengenal lelah mungkin dikarenakan frustasi.

Saya mencoba menegurnya, ‘nyari apa bu?’. Dengan bingung ia menjawab ‘Tolong saya dik, carikan anak saya. Rumah saya tadinya di sini’ sambil menunjuk tumpukan puing bercampur lumpur sedalam 1 meter. ‘anak ibu umurnya berapa?’ saya tanya dengan nada penuh iba, ‘umurnya 2 bulan, dia lepas dari pangkuan saya. Ombaknya gede banget dik, padahal saya sudah naik ke atap rumah untuk berlindung. Tapi rumah ini ngga cukup kuat nahan air, saya saja terseret arus sampai ke Pasar Jum’at, pembantu saya sudah ketemu, dan sudah meninggal’. Dia menjelaskan semuanya dengan pandangan mengarah sekeliling mencoba mencari anaknya.

Logikanya tidak mungkin anak itu masih berada di sekitar rumah yang sudah hancur ini, karena terlepas dari ibunya di luar rumah. Bahkan ibunya sendiri terseret arus hingga ratusan meter jauhnya. Tapi demi menjaga perasaan sang ibu, saya memanggil kawan- kawan yang ada di sekitar untuk mencari ‘si anak yang hilang’ ini. Setelah diberi penjelasan kawan-kawan pun mengerti keadaanya, dan mencari di sekitar lokasi yang ia tunjuk. Lokasi yang hanya merupakan tumpukan tembok yang sulit untuk diangkat dan tertimbun lumpur.

Setelah beberapa lama, demi menyenangkan hati si ibu saya mengajaknya ke tempat pengungsian, dan berusaha meyakinkan dia untuk mempercayakan seluruhnya kepada tim evakuasi dalam pencarian anaknya, dengan agak linglung ia pun mau saya ajak naik ke atas ke tempat pengungsi.

Dia sangat memohon kepada saya untuk menemukan anaknya, dan kalau bisa sekalian lemari baju warna coklat karena banyak surat-surat penting. Juga memohon agar menemukan HP-nya, setidaknya kartunya masih berfungsi jika Hp itu rusak. Karena itulah satu-satunya alat untuk berhubungan dengan keluarganya dan suaminya yang sekarang masih bekerja di luar negeri.

Tanpa alas kaki kami berdua menuju tempat pengungsian, melewati lumpur sedalam 1 meter, air yang deras, dan rintangan lainnya termasuk desakan para penonton yang hanya ingin melihat akibat dari bencana ini. Sungguh tragis…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar